Sangat unik memang bila kemudian seorang umaro(penguasa) merupakan seseorang yang berasal dari kalangan Agamawan, yang memang selama ini dipaksa untuk diyakini ‘hanya’ mengurusi hubungan dengan Tuhan (Hablum minalloh) oleh kalangan politikus yang sekuler atau lebih tepatnya oleh para politikus yang mengesampingkan pemikiran selain ‘barat’ dalam alur ilmunya, yang lebih cenderung pada hasil pikir barat. Lebih dianggap unik lagi bila kemudian dihubungkan dengan keadaan politik dewasa ini yang memang sudah sedemikian kompleksnya penyakit yang masuk dalam pemerintahan. Bila kemudian mark up keuangan dianggap wajar, korupsi merupakan budaya. Orang-orang yang tidak jujur kemudian sudah memasuki lini-lini kekuasaan, maka seorang pemimpin yang memang berasal dari Ulama dan mempertahankan sifat keulamaanya disini dianggap tak mampu menyesuaikan diri.
Jikalau kita menerawang sedikit kemasa lalu, kala awal kejayaan kehalifahan Islam bahwa penguasa kehalifahan Islam sungguh mengedepankan sikap kenegaraan yang luar biasa. Raja Salahudin dan banyak lainnya. Dibandingkan dengan Barat(Eropa)yang kala itu masih terjebak dengan alur kerajaan dongeng hingga ahir perang salib. Bahkan dirunut kebelakang lagi bahwa seorang Muhammad SAW menjadi Negarawan teladan pada masanya, hingga kemudian dicontoh oleh sahabat-sahabatnya yang meneruskan pada kehalifahan, meski kemudian ada keterputusan saat ada konflik, dan keteladanan ini harus di contoh oleh umatnya.
Dalam era yang serba tak karuan ini, ketika para peminat kuasa banyak berujung pada kepentingan materi, sangat tepat bila kemudian muncul umaro(penguasa) dari kalangan Ulama yang memang mampu membawa ide-ide keteladan Nabi.
Namun dalam nyata, bahwa beliau-beliau ini mendapatkan begitu banyak ganjalan dan pertentangan dari lawan politiknya. Dari masa Gus Dur menjadi presiden banyak orang yang ketakutan dipimpin oleh Kyai. Hal ini dipicu oleh banyak hal. Diantaranya bahwa keadilan yang dibawa oleh seorang kyai(ulama Tradisi) sangat tak memungkinakan memberikan ruang bebas bagi para pemuja kuasa. Bagi kalangan Islam garis keras para kyai yang memang tidak akan menyetujui pengarahan menjadi Negara Islam pun menjadi penentang kekuasaan Ulama.
Sepeninggal gus.Dur tak banyak umaro background ulama yang mampu bermain jurus ‘politik jitu’. Dan tak banyak yang masih tetap membawa ‘sifat’ ulama saat memimpin. Hal ini yang menimbulkan stigma buruk ulama-umaro. Atau bahkan ada politikus yang dari luar yang menyerang beliau yang mampu karena Umaro-ulama cenderung memakai gaya politikus santun sehingga agak kesulitan menyerang balik lawan yang menyerang.
Di Kebumen ada sosok KH. Mohammad Nashirudin Al Mansur, beliau menapaki jalur kuasa melalui alur politis santun. Hal ini bisa di runut dari awal beliau masuk PKB karena dawuh kasepuhan Ulama dikebumen, bahkan kemudian mundur dari PKB kala ada konflik kepentingan di dalamnya. Kala ditawari untuk menjadi wakil Bupati mendampingi Ibu Rustriningsih menolak pada awalnya bahkan butuh dirayu oleh para santri. Hingga kemudian periode kedua dan meneruskan menjadi bupati menggantikan bu Rustri yang mejadi Wagub Jawa tengah. Bahkan kala di tanyakan tentang kesanggupan beliau untuk mencalonkan diri di PILKADA Kebumen selalu mengelak, bahkan kala ditawari oleh beberapa partai untuk diusung karena beliau (calon cantik) tidak langsung mengiyakan. Baru kemudian setelah mendapat pressing dari para Kyai sepuh yang lain dengan berbagai pertimbangan kemaslahatan umat baru kemudian mengiyakan. Maka deklarasai dan persiapan pun kemudian sangat mepet. Inilah sosok ulama yang tidak meminta ‘kekuasaan’ tapi diberi ‘amanah’ kekuasaan. Kepemimpinan beliau dari meneruskan Bu Rustri hingga saat ini pun terkenal bersih dan adil.
Dalam tatanan kepemimpinan Agamis konsep amanah adalah konsep indah untuk selamatkan bangsa.
Akhmad Khusni Mubarok
(Pengurus PC GP.Ansor Kebumen)